Berita Golkar – Gagasan Presiden Prabowo Subianto terkait Pilkada kembali melalui DPRD demi efisiensi mendapat dukungan DPR RI.
Tentu saja gagasan Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menjadi langkah awal pembahasan RUU Paket Politik (pemilu, pilkada dan parpol) yang telah masuk dalam prolegnas prioritas pada 2025.
“Makanya kita mendorong revisi UU Paket Politik lebih awal agar tidak bias. Jadi kualitas undang-undang kita bisa lebih bagus,” kata Anggota Komisi II DPR, Ahmad Irawan melalui keterangan resminya, Sabtu (14/12/2024), dikutip dari Berita Moneter.
Legislator dari Dapil Jawa Timur V itu menilai bahwa pemikiran dan usulan Presiden Prabowo sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
“Jadi Ini bagus kita bahas lebih awal. Pemikiran beliau berkesesuaian. Bagaimanapun Pak Prabowo adalah Presiden yang memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Hati dan pikirannya bagus. Inti dari pernyataannya yang saya baca adalah bagaimana kita memperbaiki pemilu kita,” ujar Alumnus UGM.
Lebih jauh kata Wawan-sapaan akrabnya, tentu penalaran yang wajar, bahw kita juga bisa mendapatkan kepala daerah yang lebih berkualitas dengan biaya yang efisien manaka dipilih melalui DPRD. “Cuma sekali lagi, bahwa berbagai pendapat masih kita exercising sedemikian rupa,” paparnya.
Jadi efisiensi adalah masalah teknis saja, lanjut Politis muda Partai Golkar, karena itu yang paling penting adalah masih dalam koridor dan prinsip konstitusionalisme.
“Kalau melalui DPRD memang menurut penalaran yang wajar pasti lebih efisien dibanding dipilih langsung. Ya, kita sudah coba mengefisienkan lewat pemilihan serentak, namun ternyata maksud kita melakukan efisiensi tidak tercapai. Implementasinya justru mahal dan rumit,” jelasnya lagi.
Menurut Wawan, paling bagus memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Namub untuk Bupati/Walikota, lebih bagus untuk tetap langsung. Pertimbangan adalah karena kekuasaan dan wewenang Gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Lebih jauh Sekretaris Bidang Kebijakan Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri menjelaskan bahwa cara pandang harus dimulai bagaimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi daerah (Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945) dan adanya ketentuan konstitusional di dalam UUD 1945 bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4 UUD 1945).
Dari asas otonomi daerah tersebut, pilkada itu wujud dari kebijakan desentralisasi politik. Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam design kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Dari prinsip dan praktik konstitusional, itu bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct democracy/indirect democracy). Jadi dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada atau tidak langsung melalui DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme.
Karena anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota anggota -anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum (political representation) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945.
Terkait dengan prinsip efisiensi, hal tersebut merupakan asas/prinsip yang kita jadikan dasar dalam merumuskan kebijakan/teknis penyelenggaraan pemilu. Efisiensi tergantung dari kebijakan politik hukum kita yang diatur dengan undang-undang.
Kalau proses pemilihan kepala daerah kita pindahkan ke DPRD, pasti lebih efisien. Mengenai kebijakan penyelenggaraan pemilu ini agar efisien, kita sudah beberapa kali bongkar pasang kebijakan. Terakhir kita melaksanakannya dengan pemilu dan pilkada serentak, ternyata tidak efisien juga.
“Sekali lagi, efisiensi ini hanya persoalan teknis semata. Kalau bicara prinsip dasar konstitusionalisme tadi adalah pemilihan yang demokratis.” {}