Berita Golkar – Prabowo Subianto yang akan dilantik jadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024 nanti, bakal berbeda dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari sisi persebaran pemikiran. Bahkan jika dibandingkan dengan persebaran pemikiran Soeharto, Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika dilantik menjadi presiden.
Minimal, pemikiran Prabowo sudah ditabur sejak usia sangat muda, sebagaimana, antara lain dicatat Soe Hok Gie. Pemikiran Prabowo ketika masuk akademi militer dan selama menjalankan tugas sebagai perwira hingga jenderal tentu dikecualikan. Apa yang bisa dilihat hanya sebatas jejak rekam dalam menjalankan tugas, baik perang atau non perang.
Tentu saja, pemikiran BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih banyak dibandingkan dengan Prabowo, ketika mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI. Namun, usia pemerintahan keduanya relatif singkat. Sehingga upaya menjalankan dan mewujudkan pemikiran yang sudah menjadi domain publik juga terbatas. Apalagi lembaga kepresidenan era Habibie dan Gus Dur masih mengalami turbulensi, ketika Indonesia menjalani transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Jika dilihat dalam lingkup visi dan misi politik, paling banyak disampaikan Prabowo dibandingkan Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi. Hanya Soekarno yang lebih sering menyampaikan persoalan-persoalan politik sebelum terpilih sebagai presiden dibandingkan Prabowo. Sehingga Prabowo layak disebut sebagai seorang pemimpin yang berpikir atau intelectual leader, dibanding yang lain ketika memulai tugas kepresidenan.
Kenapa kesimpulan itu saya sampaikan?
Paling tidak, Prabowo sudah memaparkan visi dan misi politik selama lebih dari 20 tahun dalam sejumlah momen monumental.
Pertama: Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004. Prabowo berpidato di sejumlah area konvensi terkait persoalan-persoalan penting Indonesia dan program-program unggulan yang hendak dicapai jika dipercaya sebagai Calon Presiden (Capres)) Partai Golkar.
Kedua: Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009. Ketika itu, Prabowo menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang berpasangan dengan Megawati Sukarnoputri sebagai Capres.
Ketiga: Pilpres 2014. Prabowo menjadi Capres yang berpasangan dengan Hatta Rajasa sebagai Cawapres.
Keempat: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017. Prabowo menjadi pengusung pasangan Calon Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan Calon Wakil Gubernur Sandiaga Salahudin Uno. Pemikiran Prabowo mengenai Jakarta bisa dilacak dalam sejumlah momen kampanye yang dihadiri Prabowo.
Kelima: Pilpres 2019. Prabowo menjadi Capres yang berpasangan dengan Sandiaga Uno sebagai Cawapres.
Keenam: Pilpres 2024. Prabowo menjadi Capres yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres.
Keenam momen itu tentu diluar berbagai forum di dalam dan luar negeri yang dihadiri Prabowo, baik dalam kapasitas sebagai pribadi atau jabatan yang disandang ketika menyampaikan pemikiran. Forum yang tentu saja tak terbatas persoalan militer dan pertahanan.
Jejak pemikiran Prabowo itu berbeda dengan apa yang belakangan lebih banyak disampaikan para juru bicara. Konsekuensi yang muncul akan berbeda dibandingkan dengan tanpa jejak pemikiran sama sekali. Publik akan dengan mudah membenturkan satu kebijakan yang diambil dengan jejak pemikiran yang pernah disampaikan dan dicatat. Mau ditarik ke arah positif, netral, atau negatif, tentu sangat tergantung dari suvjektifitas dari pihak yang berpendapat.
Di negara-negara maju, para sejarawan dan ilmuwan lain mencatat dengan baik apa saja yang menjadi pemikiran para tokoh nasional. Yang terbanyak dicatat dan diingat tentu saja apa yang disampaikan seorang raja, kaisar, perdana menteri, atau presiden ketika menjalankan tugasnya. Kualitas kepemimpinan seseorang sangat diuji oleh waktu.
Uraian ini bermaksud memberikan perspektif tentang apa yang berbeda antara Prabowo dibandingkan Jokowi ketika menjalankan roda pemerintahan. Prabowo tidak perlu berpanjang lebar lagi menjelaskan satu kebijakan, ketika jejak pemikiran terkait kebijakan itu sudah pernah dan sering disampaikan. Implementasi atas kebijakan itulah yang ditunggu. Contoh terbaik menyangkut tanah rakyat dan percetakan lahan pertanian baru. Begitu juga swasembada pangan, tak terkecuali dan tidak semata beras.
Sekalipun begitu, ketika pemikiran Prabowo dicatat dengan baik oleh – sebut saja – sejarawan Istana yang mendampingi, lalu terdapat kebijakan yang bertolak belakang dengan itu, publik bisa diberikan alasan kuat. Ketimbang langsung membuat kebijakan yang sama sekali tak berjejak di dalam visi dan misi politik, jauh lebih ksatria menyampaikan pertimbangan apa yang menjadi dasar bagi kebijakan publik yang berlainan dijalankan. Nalar publik tetap berjalan rasional, berdasarkan sisi paling menarik dari Prabowo: kapasitas intelektual yang mumpuni.
Oleh Indra J Piliang
Sang Gerilyawan Indonesia