Berita Golkar – Meski baru terjun ke dunia politik, Atalia Praratya tampak sudah sangat memahami apa peran dan tugasnya sebagai seorang legislator. Saat kami, redaksi Golkarpedia menemuinya di sela-sela acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) DPP Partai Golkar, Bu Cinta sapaan akrab Atalia Praratya, menceritakan sekelumit aktivitasnya sebagai politisi.
Salah satunya adalah saat ia menerima aspirasi dan masukan dari masyarakat. Bu Cinta merasa selalu excited tiap kali mendengar apa yang diinginkan masyarakat dan ia mampu perjuangkan keinginan itu. Baginya mewujudkan aspirasi masyarakat menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri.
“Saya di komisi tentu saja kita berjuang untuk perempuan dan anak. Seperti kemarin kita kan mendengar banyak sekali masukan-masukan dari kementerian maupun masyarakat. Jadi masyarakat menyampaikan aspirasi, kami sampaikan lagi pada kementerian. Alhamdulillah itu banyak direspon,” tutur Atalia di Rumah Besar DPP Partai Golkar, Anggrek Neli, Slipi, Jakarta.
Penyampaian Aspirasi
Salah satu aspirasi yang seringkali ia dapatkan adalah mengenai dampak negatif media sosial bagi anak-anak. Dampak negatif media sosial ini seringkali dikeluhkan masyarakat. Banyak masyarakat merasa anak-anak menjadi lebih liar, lebih cepat dewasa, bahkan kenakalan-kenakalan yang tak pernah dibayangkan orang tua seringkali dilakukan anak-anak saat ini.
Bu Cinta lantas berpikir, perlu ada tindakan nyata dari negara agar hadir guna mengatur penggunaan media sosial dan asupan informasi untuk anak. Apalagi ia memahami, pembentukan karakter seorang manusia dilakukan sedari dini. Oleh karenanya, informasi seperti apapun akan mudah tertanam di alam bawah sadar sang anak. Gawat jika anak-anak Indonesia diberi informasi tanpa filterisasi.
Kesempatan pun terbuka ketika ia mengetahui bahwa Australia melakukan kebijakan melarang anak-anak usia sekolah mengakses media sosial. Sebagai seorang politisi, ia melihat kebijakan ini perlu diadopsi di Indonesia. Gayung bersambut saat Menkomdigi Meutya Hafid memberi respons positif terhadap apa yang diinginkan Bu Cinta.
“Misalnya ketika Australia menyampaikan bahwa mereka memberikan batasan bahkan melarang anak-anak usia sekolah untuk kemudian mengakses media sosial. Itu saya sampaikan langsung ke Bu Menteri Meutya Hafid. Ternyata respons cukup baik, paling cepat respons di media sosial saya justru dari Komdigi,” cerita anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi persoalan agama, sosial, perempuan dan anak ini.
Geliat Advokasi
Selain menerima aspirasi dari masyarakat, Atalia mencoba bergerak secara mandiri dengan komunitas-komunitas yang dibangunnya. Salah satunya adalah Jabar Bantuan Hukum (JBH) yang merupakan lembaga yang menawarkan bantuan hukum secara gratis. Relawan JBH diakuinya sangat membantu berbagai upaya perjuangannya saat ini.
“Di lapangan saya juga bergerak bersama-sama, karena kebetulan saya pembina Jabar Bantuan Hukum jadi saya menampung keluhan masyarakat dan langsung memproses. Kasus yang saya tangani saat ini ada 7 kejadian terkait tindak kekerasan perempuan dan anak,” tutur istri dari Ridwan Kamil ini.
Bu Cinta lantas bercerita, salah satu kasus fenomenal yang membuat bulu kuduknya selalu merinding jika mengingatnya adalah derita seorang gadis disabilitas tuna rungu dan tuna wicara yang mengalami rudapaksa selama bertahun-tahun lamanya. Tidak hanya oleh satu orang, gadis ini dirudapaksa oleh 9 orang. Sungguh perbuatan yang biadab.
“Dia dirudapaksa selama 2 tahun oleh 9 orang. Tidak ketahuan karena dia tidak bisa mendengar dan tidak bisa bicara. Ini menjadi kehebohan tersendiri karena lingkungan tidak ada yang tahu, keluarga tidak ada yang tahun,” urai Atalia.
“Kemudian juga ada yang terjadi seorang anak yang dirundung, dia dirundung sudah dua tahun diperjuangkan oleh ibunya tapi dia dibungkam (oleh tersangka). Sehingga dia harus pindah dari Garut ke Bandung. Hal-hal seperti ini terus saya dampingi karena saya merasa mereka ini butuh kepastian hukum,” sambungnya lagi.
Dari Moril Hingga Materiil
Atalia mengakui persoalan tindak lanjut kasus kekerasan anak dan perempuan membutuhkan penanganan secara intensif. Para korban yang rata-rata ekonomi menengah ke bawah pun seperti tak memiliki pilihan untuk mengadukan nasib yang dideritanya. Karena itu, Atalia memberikan sosialisasi terkait pengaduan kasus-kasus terkait kekerasan perempuan dan anak.
“Masyarakat harus tahu kemana jika mereka mengalami kejadian-kejadian seperti ini. Kan kita ini sebenarnya punya SAPA 129, kemudian dari KPAI juga punya kanal-kanal untuk pengaduan, dari provinsi juga ada UPTD PPA, kabupaten/kota juga ada UPTD PPA. Tapi mereka tidak tahu harus kemana,” jelasnya.
Tak cukup dengan saluran-saluran pengaduan kasus yang disediakan pemerintah, menurut Bu Cinta, sebagai seorang legislator ia harus berperan secara aktif untuk menuntaskan masalah kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di masyarakat. Minimal, dirinya ada untuk melakukan pendampingan. Untuk itu, Bu Cinta membuka seluas-luasnya platform yang dimilikinya sebagai tempat mengadu masyarakat yang merasa menjadi korban kekerasan, khususnya para perempuan dan anak-anak.
“Oleh karena itu kami, khususnya saya sebagai anggota DPR yang sangat concern terhadap perempuan dan anak tentu kita akan senantiasa mendampingi masyarakat. Jadi sekarang masyarakat mudah sekali, ketika mereka mentok di pengaduan saluran pemerintah, mereka bisa mengadu melalui kanal saya.
Ia merasa membuka kanal atau saluran pengaduan melalui media sosial miliknya lebih efektif. Informasi primer bisa ia dapatkan segera. Sehingga hukum aksi reaksi cepat dilakukannya. Selanjutnya, Bu Cinta dengan wewenang yang dimiliki mencoba meretas masalah secara komprehensif, dari hulu ke hilir, dari memastikan pelaku terjerat pidana hingga proses rehabilitasi mental para korban.
“Hal ini sangat efektif, jadi sekarang tidak kurang dari 60 kasus yang melapor melalui kanal saya sejak pertama saya menjabat sebagai anggota DPR RI hingga hari ini. Jadi ketika mereka melapor, kita dampingi, kita lakukan advokasi. Biasanya kami kumpulkan ada perwakilan dari pemerintah, perwakilan dari kepolisian dan sebagainya,” ungkap Doktor Komunikasi Universitas Padjajaran ini.
Selain melibatkan aparat terkait seperti perwakilan pemerintah dan kepolisian, Atalia juga mengaku membuka diri terhadap masyarakat yang peduli terhadap kasus-kasus seperti ini. Ia juga tak enggan mengajak masyarakat yang peduli untuk bahu membahu membantu para penyintas kekerasan.
“Kadang mereka para korban ini masyarakat kurang mampu, karena itu kita mengajak juga masyarakat yang peduli untuk membantu. Seperti gadis yang disabilitas dirudapaksa hingga dia hamil, kita bantu hingga kelahiran anaknya, kita bantu biaya anaknya berkat orang-orang yang peduli ini,” tutup Atalia Praratya.