Berita Golkar – Pasca dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung membuat gebrakan lewat kebijakan pemindahan dana Sisa Anggaran Lebih (SAL) Pemerintah sekitar Rp 200 triliun, dari rekening di Bank Indonesia ke lima bank komersial negara (Himbara). Tujuannya untuk menambah likuiditas sektor perbankan. kebijakan ini memberi ruang yang lebih besar bagi sektor swasta, untuk dapat menggerakkan perekonomian nasional sehingga terjadi percepatan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Kebijakan ini memulai babak baru dalam pengelolaan kebijakan fiskal di Indonesia. Praktis dalam satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kondisi fiskal Indonesia realtif stabil, kebijakan fiskal dijalankan secara prudent dan disiplin. Bukan tanpa alasan, pendekatan ini bertujuan untuk menjaga kesinambungan keuangan negara, dan memastikan bahwa fiskal tetap menjadi instrumen yang efektif menjadi motor pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.
Pendekatan disiplin fiskal yang ketat pada masa normal, membuat stabilitas APBN selalu terjaga dengan baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-uandangan. Penerimaan dan belanja berada pada rentang kendali defisit dibawah 3%, utang berada di bawah ambang batas 60%. Pertumbuhan ekonomi secara konsisten berada pada kisaran 5 persenan. Kondisi ini berlangsung hampir selama satu dekade terakhir, kecuali pada masa terjadinya Covid-19. Setelah itu, ekonomi kembali berada pada kondisi normal.
Ciri lain pendekatan yang bersifat hati-hati (prudent) adalah fiskal sebagai cadangan atau buffer. Adanya pos dana cadangan risiko fiskal atau fiscal buffer, yang merupakan dana cadangan atau penyangga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), berfungsi sebagai pengaman dan antisipasi terhadap gejolak atau ketidakpastian ekonomi, seperti pelebaran defisit anggaran. Selain itu, digunakan untuk mengatasi tekanan ekonomi tak terduga, mengurangi ketergantungan pada utang, dan menjaga stabilitas perekonomian.
Fiscal buffer bersumber dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) yang merupakan akumulasi neto dari sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dan sisa kurang pembiayaan anggaran (SiKPA). Sebagai contoh, pada akhir tahun 2024, SAL yang tersedia mencapai Rp 457,5 triliun. Pada semester II APBN 2025, Pemerintah berencana menggunakan SAL sebesar Rp85,6 triliun, digunakan untuk menambal defisit yang melebar, mengurangi penerbitan surat berharga negara (SBN), dan memenuhi kewajiban belanja prioritas
Pendekatan fiskal yang prudent dan disiplin ketat inilah yang membuat APBN selalu terjaga dengan baik. Bahkan Menteri Keuangan ketika itu, selalu menyebut bahwa APBN berperan sebagai shock absorber atau memiliki efek peredam kejut. Dengan menggunakan kebijakan fiskal countercyclical untuk menjaga stabilitas ekonomi saat terjadi guncangan atau krisis, baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Mekanismenya melalui program-program bantuan sosial, subsidi, insentif, dan pembiayaan.
Kebijakan fiskal yang dilakukan dengan sangat hati-hati dan disiplin ketat, belum sepenuhnya berhasil mendonkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam satu dekade terakhir, perekonomian nasional hanya tumbuh dalam rentang 5 persenan. Oleh sebab itu, perlu ada terobosan baru untuk mendobrak kebuntuan yang selama ini terjadi, sekaligus menciptakan kebijakan yang sesuai dengan kondisi perekonomian yang ada.
Dukungan Sektor Moneter
Oleh sebab itu, pemindahan dana SAL pemerintah sekitar Rp 200 triliun dari rekening di Bank Indonesia ke lima bank komersial negara (Himbara), Bank Mandiri, BNI dan BRI mendapat masing-masing Rp. 55 Triliun, BTN mendapatkan Rp. 25 triliun dan BSI memperoleh Rp. 10 Triliun. Kucuran ini diharapkan akan menggerakkan kembali sektor ekonomi, sekaligus memicu sektor swasta untuk meningkatkan aktivitas belanja. Dengan demikian sektor ekonomi dan dunia usaha akan kembali menggeliat.
Keberhasilan program pemindahan dana Pemerintah dari Bank Indonesia ke Bank Himbara sebesar Rp. 200 Triliun, tidak akan berajalan jika tidak ditopang oleh dukungan otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia. Otoritas moneter memastikan kebijakan ini akan meningkatkan likuiditas perbankan. Penempatan dana ini bertujuan menambah cadangan kas bank-bank milik negara, sehingga mereka memiliki lebih banyak dana untuk disalurkan.
Dengan adanya likuiditas yang lebih longgar, bank diharapkan lebih aktif menyalurkan kredit produktif ke sektor riil, seperti UMKM dan usaha lainnya, sehingga ekonomi dapat tumbuh. Peningkatan likuiditas berpotensi membuat bank menurunkan suku bunga, sehingga akses pembiayaan menjadi lebih mudah bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Tantangan Efektifitas Penyaluran Kredit
Kebijakan penempatan dana sebesar Rp200 triliun oleh pemerintah ke bank-bank Himbara, memiliki beberapa tantangan besar yang perlu diatasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh Pemerintah. Tantangan ini berpusat pada efektivitas penyaluran dana, risiko kegagalan (default), dan dampak yang mungkin terjadi pada stabilitas ekonomi, seperti terjadinya inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Meskipun likuiditas perbankan saat ini sudah longgar ditandai dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan pada Agustus 2025 tercatat 86,3%, permintaan kredit dari sektor riil berada pada kisaran 7,56%. Dunia usaha sepertinya masih lesu dan enggan berekspansi karena daya beli masyarakat tertekan, birokrasi, serta biaya logistik yang belum efisien. Tanpa perbaikan di sektor riil, dana Rp200 triliun berisiko mengendap di perbankan atau tidak tersalurkan secara optimal.
Pemerintah juga perlu menyusun regulasi yang spesifik dan ketat. Terdapat risiko dana disalurkan ke sektor yang tidak produktif atau hanya bersifat konsumtif. Dana bisa mengalir ke kredit kendaraan atau properti yang dapat memicu gelembung aset, alih-alih menggerakkan sektor padat karya atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Oleh sebab itu, Diperlukan regulasi yang memastikan dana disalurkan ke sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja dan berfokus pada ekonomi berkelanjutan, UMKM, sektor pertanian dan kelautan serta sektor produktif lainnya. Kita berharap kebijakan ini mampu memberikan harapan untuk menyelesaikan persoalan kelesuan ekonomi yang tengah kita hadapi.
Tambahan likuiditas di perbankan diharapkan akan mendorong daya beli masyarakat dan menggerakkan kembali sektor rill yang sempat mati suri. Peran sentral Pemerintah dan otoritas fiskal serta moneter dalam mengawal kebijakan ini akan sangat menentukan keberhasilan kebijakan ini. {Kaidah}
Oleh: Muhidin M Said, Wakil Ketua Banggar DPR RI dan Anggota Fraksi Partai Golkar