Berita Golkar – Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung menilai, persoalan klasik Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kerap berulang di setiap proses pemilihan umum. Menurutnya hal ini disebabkan karena belum adanya sistem data base kependudukan yang terintegrasi dan valid.
“Inikan data-data kita masih tersebar ke institusi masing-masing, di kemendagri ada data kependudukan, tapi di Kemensos juga ada data penerima bantuan sosial, ini yang masih belum sinkron semua, ini yang membuat akhirnya teman-teman KPU harus bekerja keras. Harusnya kan yang namanya data kependudukan ini tidak menjadi pekerjaan elektoral, pekerjaan election, pekerjaan election itukan yang harus dilakukan oleh teman-teman KPU ya tahapan-tahapan itu, gak ada urusan dengan kependudukan sebetulnya Kalau kita lihat pelaksanaan pemilu di seluruh dunia,” ungkapnya di Medan, Sumatera Utara, Kamis (5/10/2023).
Doli melanjutkan, bahwa yang namanya data kependudukan itu harus disiapkan oleh Pemerintah, namun karena kita belum memiliki sistem data base yang terintegrasi dan valid, maka hal itu menjadi susah. Kemudian, terbitlah jalan tengah dimana data di koordinasikan antara KPU dan Dukcapil. Namun, disini pun masih ada ego sektoral yang tak terelakkan.
“Ini juga nanti ada ego sektoral juga antara Dukcapil dengan KPU, makanya kenapa selalu kami kalau ada rapat dengan penyelenggara kami undang Dukcapil hari ini Dinas Dukcapilnya tak ada yang datang, seharusnya ini juga jadi perhatian pemerintah daerah sumatera utara bahwa masalah penyelenggara pemilu dengan data kependudukan itu bukan masalah yang sederhana, jadi kami mengundang dinas duckcapil itu bukan untuk mendengarkan saja, tapi kita mau mendengarkan koordinasi terus apa yang sudah dilakukan dinas dukcapil atau tidak, mungkin ini kita akan sampaikan ke Mendagri untuk kita koreksi untuk Sumatera Utara ini,” katanya.
Sementara Anggota Komisi II DPR RI Ongku P. Hasibuan menyoroti pengaturan teknis atau secara implementasi permasalahan DPT ini, terutama bagi orang yang genap 17tahun di 14 Februari mendatang, meskipun dengan aturan yang baru cukup dengan melampirkan surat keterangan, namun permasalahan lain yang paling rentan sebenarnya adalah data kematian, yang tidak memiliki surat kematian.
“Yang meninggal dunia tidak dihapus karena apa? Karena alasan yuridis formal, katanya kalau ada yang meninggal itu harus ada surat keterangan meninggal, padahal di desa-desa banyak itu yang tidak punya surat keterangan meninggal-meninggal saja tapi dilaporkan, eh DPT-nya sudah ada ini rawan juga untuk bisa dipermainkan, kita tahu pengawas TPS itu cuma satu orang dari Panwaslu, sedangkan petugas TPS itu banyak dan yang diawasi 250an orang ini rawan, yang paling menyedihkan itu adalah yang meninggal tetapi tidak diakui meninggal sebelum ada surat itu yang berat,” tutupnya. {sumber}